NASIB GURU SD

Kesejahteraan guru dilihat dari kesejahteraan sosial yang dimiliki guru untuk memenuhi standar hidupnya yang dapat dilihat dari Human Development. Dalam bab ini penulis mengunakan indikator kesejahteraan yang diberian oleh UU RI No. 6 Tahun 1974 tentang kesejahteraan sosial. Dimana dalam UU tersebut, kesejahteraan sosial didefinisikan sebagai suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial materiil maupun spirituil yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir batin yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah, dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga, serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan pancasila. Definisi ini juga sejalan dengan indikator dalam Human Development yang diajukan UNDP. 

Dari hasil temuan lapangan yang penulis peroleh, dapat dilihat bahwa kesejahteraan guru di MI Darul Ulum masih tergolong sangat rendah hingga saat ini. Dimana penghasilan yang diperoleh guru di MI Darul Ulum sebesar RP 300.000,- hingga Rp 500.000 tiap bulannya. Penghasilan ini masih masih di bawah Upah Minimum Regional (UMR) DKI jakarta yang sekarang ini sudah mencapai RP 1.000.000,-. Hal ini diperparah dengan keadaan guru yang ada di madrasah lainnya di daerah Cilandak Jakarta Selatan. Jika dibandingkan dengan kesejahteraan buruh pabrik, kesejahteraan guru di MI Darul Ulum masih jauh di bawah kesejahteraan buruh pabrik. Walaupun pemerintah telah memberikan tunjangan kesra yang besarannya menyamapi Rp 200.000,- perbulan yang diberikan kepada guru yang diberikan setiap enam bulan sekali, penghasilan guru masih kalah dari penghasilan buruh pabrik. Dari hasil temuan lapangan, kesejahteraan guru di MI Darul Ulum dalam hal pemenuhan kebutuhan sehari-hari hanya akan terpenuhi 2 bulan dalam setahun. Dimana guru di MI Darul Ulum mendapatkan penghasilan tambahan melalui tunjangan yang diberikan oleh madrasah dan tanda terima kasih dari orang tua murid ketika penerimaan raport murid. Untuk menambah penghasilannya, sorang guru harus mencari pekerjaan tambahan di tempat lain, seperti mengajar di sekolah lain, dan mengajar privat. Dari segi penghasilan yang diperoleh ini, guru di MI Darul Ulum masih belum mendapatkan ketentraman lahiriyah untuk memungkinkannya melakukan usaha pemenuhan kebutuhan jasmaniah, rohaniah, serta kebutuhan sosial bagi dirinya sendiri apalagi bagi orang lain di sekitarnya, seperti keluarga dan masyarakat sekitarnya.

Dari segi ketentraman secara batiniyah, guru juga belum dapat merasakannya. Dimana guru, khususnya guru di MI Darul Ulum. Dimana dari hasil temuan lapangan yang penulis peroleh, informan penulis mengalami ketidakpastian dalam hal pengangkatan menjadi PNS dan dalam hal sertifikasi guru. Hal ini disebabkan oleh buruknya birokrasi pemerintah selama ini. Hal ini diperparah lagi dengan adanya isu KKN yang mengharuskan setiap guru yang akan diangkat menjadi PNS “menyumbang” sejumlah uang yang tidak sedikit dengan alasan biaya administrasi. Dalam konteks MI Darul Ulum, ketidakpastian yang mempengaruhi ketentraman batin ini hanya terjadi pada masalah gaji yang diberikan oleh pihak madrasah kepada guru tiap bulannya. Hal ini tidak terlepas dari keadaan MI Darul Ulum yang memprihatinkan dari aspek pendanaan madrasah. Dengan kata lain, MI Darul Ulum terpaksa tidak dapat memenuhi kesejahteraan guru-gurunya dengan memberikan gaji yang pasti tiap bulannya. Oleh karena itu, pihak madrasah dan yayasan telah memberikan gamabaran umum apabila bekerja di MI Darul Ulum kepada calon guru yang ingin bekerja di MI Darul Ulum sejak awal sebelum menjadi guru di MI Darul Ulum.
Dengan penghasilan yang tidak tetap dan minim serta ketidakpastian yang dialami oleh setiap guru, dapat dikatakan bahwa guru di MI Darul Ulum tidak memiliki akses yang bebas untuk mendapatkan kesempatan dalam berbagai aspek sosial, salah satunya adalah mendapatkan kesempatan memperoleh sumber daya materiil untuk memenuhi standar kehidupan. Guru di MI Darul Ulum sangat terbatas aksesnya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang sesuai dengan ekspektasi mereka dan lingkungan sekitarnya. Dimana guru MI Darul Ulum hanya merasakan keadaan yang lebih baik sebanyak 2 bulan dalam setahun tiap tahunnya. Hal ini juga menjadikan guru tersebut tidak melakukan usaha meningkatkan kualitasnya karena mereka lebih bersifat pragmatis dalam prioritas kebutuhan mereka. Dengan demikian, profesi guru, khususnya di MI Darul Ulum, masih belum mampu mengangkat kesejahteraan sosial di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh buruknya peran pemerintah dalam memenuhi kesejahteraan guru secara umum di Indonesia. Selanjutnya, yang menjadi perhatian dari buruknya peran pemerintah tersebut adalah perealisasian sertifikasi guru dan pengangkatan guru tidak tetap menjadi PNS secara cepat guna meningkatkan kesejahteraan guru yang akan berdampak pada kualitas hidup serta profesi guru ke depannya. Dimana salah satu informan penulis masih meragukan akan kecekatan pemerintah dalam merealisasikan program yang diadakan dalam peningkatan kesejahteraan guru.

Dari gambaran kesejahteraan guru di MI Darul Ulum di atas, penulis akan berusaha menggambarkan bentuk eksklusi sosial yang dialami guru di MI Darul Ulum berdasarkan tiga pilar utama dalam pembangunan, yaitu state, market, dan society. Dimana eksklusi sosial secara umum dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk dari ketidakseimbangan yang terjadi dalam suatu masyarakat. Sehingga dapat dikatakan bahwa bentuk eksklusi sosial yang dialami oleh guru di MI Darul Ulum dapat terlihat dari ketidakpastian serta kecilnya penghasilan guru di MI Darul Ulum dan ketidakpastian yang disebabkan oleh pemerintah dalam berbagai hal, salah satunya dalah ketidakpastian dalam hal pengangkatan guru menjadi PNS. Dimana dalam hal ini, guru menjadi korban dari pemerintah yang memiliki peran yang buruk dalam proses pembangunan, khususnya pembangunan pendidikan. Selain itu, guru juga menjadi korban dari keadaan MI Darul Ulum yang memprihatinkan karena ketidakpekaan pemerintah dalam melihat kondisi lembaga pendidikan, khususnya MI Darul Ulum yang tidak terbantukan hanya melalui dana BOS yang diberikan oleh pemerintah saja. 

dengan kata lain, dapat dilihat bahwa guru sebagai bagian dari society mengalami eksklusi sosial secara ganda yang dilakukan oleh pemerintah sebagai state dan MI Darul Ulum sebagai market. Proses eksklusi yang dialami guru tersebut berpangkal pada kebobrokan ketidakpekaan pemerintah yang direpresentasikan oleh Departemen Agama terhadap masalah pendidikan yang ada, khususnya masalah yang terkait dengan kesejahteraan guru serta kualitas lembaga pendidikan kecil yang secara tidak langsung berdampak pula kepada kesejahteraan guru yang bekerja di lembaga pendidikan tersebut. Dimana MI Darul Ulum terpaksa menjadikan guru sebagai korban dari proses eksklusi sosial dalam konteks ini karena ketidakmampuan MI Darul Ulum dalam mendapatkan sumber daya untuk memberikan imbalan yang cukup kepada guru-guru yang bekerja di MI Darul Ulum.

Sedangkan menurut Byrne, eksklusi sosial dapat diartikan sebagai proses multi-dimensional dalam berbagai bentuk eksklusi, seperti partisipasi dalam pembuatan kebijakan dan proses politik, akses terhadap pekerjaan dan sumber daya material, dan integrasi ke dalam proses kultural. Dimana definisi tersebut menekankan pada ketidaksetaraan dalam segi material dan power sebagai aspek penting dalam terjadinya proses eksklusi sosial pada seseorang atau kelompok. Dengan mengacu pada pemikiran Byrne tersebut, proses eksklusi sosial yang dialami oleh guru di MI Darul Ulum terjadi di berbagai aspek, diantaranya adalah: pertama, aspek ekonomi, dimana guru di MI Darul Ulum tidak memiliki penghasilan yang tetap serta tidak mampu fokus pada pekerjaannya sebagai guru profesional karena harus mencari kerja tambahan lainnya untuk meningkatkan kesejahteraannya guna meningkatkan kualitas hidupnya.

Kedua, aspek sosial politik, dimana guru di MI Darul Ulum memiliki akses yang terbatas dalam kehidupan sosial politik yang ada di lingkungannya. Aspek sosial disini maksudnya guru tersebut tidak memiliki waktu yang banyak untuk bersosialisasi dengan lingkungannya setiap harinya karena harus bekerja di berbagai tempat yang menghabiskan tenaga secara fisik maupun mental. Karena menjadi guru merupakan kegiatan yang melibatkan tenaga dan pikiran dalam prosesnya. Selain itu, dalam konteks yang lebih luas, guru teralienasi terhadap kehidupan sosialnya serta citra profesi guru merosot di mata masyarakat yang akan berdampak pada jatuhnya martabat guru di mata masyarakat yang selalu menginginkan pendidikan yang berkualitas. Sedangkan aspek politik maksudnya guru memiliki akses terbatas dalam pembuatan kebijakan yang terkait denga pendidikan dan kesejahteraan guru. Dimana guru hanya bisa menerima saja tanpa memberikan masukan kepada pembuat kebijakan dalam menentukan kebijakan yang terkait dengan pendidikan maupun kesejahteraan guru. Dengan kata lain, guru tidak memiliki power yang kuat untuk mempengaruhi pemerintah dalam membuat kebijakan yang terkait dengan pendidikan dan kesejahteraan guru. Hal ini terlihat dari beberapa kasus yang terjadi selama ini dalam dunia pendidikan di Indonesia yang melibatkan guru, diantaranya adalah Nurlaila yang ingin mempertahankan sekolahnya dari penggusuran harus rela dipecat sebagai guru PNS oleh pemerintah serta aksi Winorno Surakhmad yang membaca puisi sinfirian akan pendidikan nasional di depan Jusuf Kalla disambut dengan kemarahan Jusuf kalla dalam aksi damai tersebut.

Dari penjelasan di atas, dapat terlihat bagaimana guru mengalami eksklusi sosial di banyak aspek kehidupan yang mengakibatkan mereka tidak mampu bekerja secara profesional dalam satu lembaga pendidikan yang ada. Eksklusi sosial yang dialami oleh guru, khususnya guru di MI Darul Ulum, ini akan berdampak pada buruknya kualitas pendidikan nasional. Hal ini tidak lain dari buruknya peran pemerintah dalam merealisasikan kebijakan yang telah ada secara tepat dan terarah, khususnya kebijakan dalam pendidikan. Seperti yang telah kita ketahui, sudah banyak kebijakan yang dibuat pemerintah dalam dunia pendidikan yang mampu meningkatkan kualitas pendidikan nasional apabila direalisasikan secara tepat dan terarah, diantaranya adalah UU NO. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Selain itu, buruknya peran pemerintah dalam hal ini juga terlihat dari lamanya proses pengangkatan guru swasta tidak tetap yang telah terdaftar menjadi guru kontrak Departemen Agama menjadi PNS dan kekhawatiran akan lama dan rumitnya perealisasian sertifikasi guru yang sedang dilakukan oleh pemerintah saat ini.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung, komentar dan saran anda sangat saya hargai demi perkembangan blog ini.