Terjerumus Era Globalisasi

Persoalan besar yang dihadapi negara dan bangsa-bangsa berkembang di era kontemporer ini, salah satunya adalah globalisasi. Realitas menunjukkan,
pendesabuanaan yang digagas negara Barat telah melahirkan problem –bahkan dilema –yang begitu rumit. Pada satu pihak, globalisasi merupakan realitas yang telah menggurita ke mana-mana yang nyaris tidak mungkin dihindari oleh bangsa mana pun. Namun di pihak lain kehadirannya selalu meminta korban pada bangsa dan masyarakat lokal di berbagai negara, termasuk di Indonesia.
Pada awalnya, ada anggapan globalisasi akan mempersatukan masyarakat dunia melalui penciutan waktu, ruang, dan hilangnya batas negara.
Melalui itu, solidaritas baru diharapkan muncul berkembang dan sekat-sekat primordialisme dan sejenisnya akan kian terpupus sehingga akan membawa kesejahteraan bagi kehidupan seluruh umat manusia di berbagai belahan dunia. Namun harapan itu tak kunjung datang. Sebaliknya, masyarakat-masyarakat miskin kian terpinggirkan. Justru –menurut Sindhunata –dengan alasan globalisasi yang sering diartikan dengan perdagangan bebas, dunia-dunia maju menelan harta-harta negara-negara miskin. Lebih dari itu, globalisasi bukan semata persoalan semata perdagangan bebas, tapi juga soal pandangan hidup yang meremehkan dari mereka yang kuat terhadap mereka yang lemah.
Pendesabuanaan berkembang menjadi suatu paradigma yang sampai batas tertentu mengembangkan kolonialisme model baru. Dalam sisi itu, globalisasi juga membuka peluang yang bisa mengantar manusia ke dalam persaingan sengit, merobek-robeknya dengan kebendaan, dan konsumerisme.
Kehidupan di sekitar memperlihatkan seutuhnya gejala tersebut. Masyarakat –sampai derajat tertentu –telah menjadi makanan empuk globalisasi. Salah satu akar penyebabnya, karena lemahnya daya saing bangsa. Sebagaimana dilaporkan Bank Dunia , posisi daya saing Indonesia di antara 30 negara yang berpenduduk di atas 20 juta menempati urutan ke 28. Artinya, hal itu secara keseluruhan menunjukkan rendahnya daya saing bangsa Indonesia dibandingkan 30 negara lain. Parameter penilaian yang digunakan mengandung aspek-aspek yang sangat erat kaitannya dengan kinerja perguruan tinggi, seperti misalnya kontribusi sains, teknologi dan SDM terhadap dunia usaha atau perilaku inovatif perusahan.
Dalam ungkapan yang lebih luas, ukuran yang digunakan terkait erat dengan pendidikan.
Dalam kondisi itu, masyarakat hanya menjadi konsumen pasif  yang tanpa daya dan kekuatan. Semua itu muncul dari beragam akar penyebab yang pada ujungnya berpulang pada rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia secara umum. Pendidikan nyaris telah kehilangan misinya untuk mengantar peserta didik menjadi manusia yang having dan sekaligus being. Pada sisi itu urgensi mengkaitkan pengembangan pendidikan dan globalisasi menjadi keniscayaan yang sama sekali tidak bisa diabaikan.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung, komentar dan saran anda sangat saya hargai demi perkembangan blog ini.